Selasa, Mei 20, 2008

Analisis Akar Permasalahan Konflik Berdarah di Ambon

PENDAHULUAN

Indonesia yang merupakan salah satu negara besar di dunia ini, merupakan negara yang terkenal dengan pluralitas suku, agama, dan bahasa. Pluralitas yang ada di satu sisi merupakan anugerah dan kekayaan tak ternilai yang harus disyukuri, karena dapat dijadikan potensi yang positif bagi pembangunan dan kemajuan peradaban. Namun disisi lain, jika tidak dikelola dengan arif dan bijaksana, pluralitas tersebut bisa menjadi masalah dalam pembangunan negara (Mufid, 2001). Dalam konteks kekinian, pluralitas menjadi sebuah istilah baru yang disebut “pluralisme”. Namun, pluralisme yang dimaksud di sini—sebagaimana diungkapkan oleh Alwi Shihab—bukanlah sebuah relativisme agama, atau sebuah bentuk sinkretisasi agama-agama yang membentuk sebuah agama baru, namun lebih dilihat sebagai sebuah kesadaran antropogis yakni sebuah sikap atau kesadaran akan adanya pluralitas, baik agama maupun budaya, yang disertai sikap toleran dan terbuka terhadap dialog dengan pemeluk dan agama lain (Shihab, 1998). Al-Quran sendiri sejak awal telah menegaskan bahwa manusia telah diciptakan dalam dimensi yang plural baik dari segi suku maupun kebangsaan (QS. Al-Hujurat: 13). Penegasan yang secara substansial memiliki kesamaan dapat ditemui pula dalam ayat yang lain dimana Allah telah menjelaskan bahwa pluralitas ras dan bahasa merupakan ciri-ciri kekuasaan Tuhan yang harus dikaji secara arif untuk diambil sebagai pelajaran (QS. Al-Rum: 22). Namun di sisi lain, Al-Quran juga mengingatkan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki titik kesamaan (common platform) dimana mereka semua berasal dari geneologis (nenek moyang) yang satu yaitu Adam dan Hawa (QS. Al-Nisa: 1).[1]

Namun dalam kenyataannya, dalam catatan sejarah kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama, kita menemukan begitu banyak fakta yang memilukan tentang konflik dan pembantaian karena faktor etnik dan agama. Dalam konteks kontemporer, kita dapat melihat bagaimana terjadinya pembantaian terhadap umat Islam di Bosnia dan Albania yang menewaskan ribuan manusia tak bedosa. Bahkan Di Indonesia sendiri, sebelum jatuhnya Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, Indonesia pernah dijadikan sebagai negara model bagi hidupnya harmonisasi dan toleransi antar umat beragama bagi negara-negara di dunia. Pecahnya konflik bernuansa agama yang terjadi di Ambon (tahun 1999) dan di Poso (tahun 2000) seakan mencoreng wajah Indonesia yang dikenal sebagai negara model dalam toleransi dan kerukunan antar-umat beragama.[2]

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pentingnya menghindari konflik sosial meluas ke konflik agama. Jika sampai meluas ke konflik agama, konflik akan sulit dipadamkan dan seringkali menelan banyak korban jiwa. Menurut Kalla, konflik agama hampir selalu menelan korban jiwa yang sangat banyak. Dia membandingkan konflik Poso dan Ambon yang sudah meluas ke konflik agama dengan konflik Aceh. Dari jumlah korban, konflik Ambon dalam waktu dua tahun menimbulkan korban meninggal mencapai 5000 orang. Sedangkan di Poso jumlah korban yang meninggal dalam dua tahun mencapai 2000 orang. (Media Indonesia, 2007)

Gambar 1

Insiden dan Kematian Akibat Konflik Sosial Tahun 1990-2003

di Indonesia [3]


Tampak pada gambar 1 di atas bahwa jika diukur dengan angka kematian akibat konflik dan frekuensi kejadiannya, maka jumlah yang tertinggi terjadi di tahun 1999, yaitu sebanyak 3.546 orang meninggal dunia (523 insiden) kemudian tahun 2000 dengan korban jiwa sebanyak 2.585 orang (722 insiden). Adapun di tahun 2001 – 2003, angka kematian akibat konflik dan jumlah insiden terus menurun.

Meskipun terjadi perbedaan mengenai jumlah korban meninggal dunia, namun uraian di atas menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia termasuk kategori mengkhawatirkan. Hal tersebut belum termasuk dampak psikologisnya yang membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat disembuhkan.

LANDASAN TEORI

a. Pengertian Konflik

Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” – yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lai”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu luas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.[4]

Bagi Pruitt dan Rubin, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. [5] Dalam hal ini konflik menggunakan istilah “kepentingan”, sementara orang lain menggunakan istilah “nilai-nilai” (values) atau “kebutuhan” (needs). Kepentingan, menurut Raven dan Rubin (1983), adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat (intensi)-nya. [6]

Konflik dalam pengertian kolektif, menurut Gurr, kadang-kadang didefinisikan sebagai suatu proses, dan kadang-kadang sebagai peristiwa. Galtung mendefinisikannya sebagai suatu peristiwa: “Suatu aksi-sistem dikatakan sedang mengalami konflik bila sisem memiliki dua atau lebih tujuan yang tidak sama”. Coser mula-mula mendefinisikannya sebagai suatu proses, “suatu perjuangan terhadap nilai dan tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumber daya dimana tujuan saingannya adalah menawarkan, melukai, dan menghilangkan rivalnya”. Dalam pemahaman konvensional, konflik dianggap sebagai suatu peristiwa, pertikaian dengan kekerasan atau tanpa kekerasan antara dua kelompok. [7] Pendapat serupa dikemukan oleh Marbun, “Konflik: dengan konflik dimaksudkan perwujudan dan / atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak, yang dapat merupakan dua orang atau bahkan golongan besar seperti negara. Kadang-kadang konflik digunakan juga untuk menyambut pertentangan antara pandangan dan perasaan seseorang (psikologis); percekcokan; bentrokan.” [8]

Konflik secara umum dipahami sebagai hubungan yang muncul antara dua pihak atau lebih yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Fenomena konflik biasanya dimulai dari adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat disinergiskan yang kemudian membawa pada fenomena pertikaian secara terus menerus. Konflik akan berkembang ke dalam bentuk kekerasan apabila perbedaan kepentingan maupun sasaran tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai aksi atau sikap terstruktur yang menyebabkan terjadinya kerusakan secara fisik, mental, sosial maupun lingkungan. Konflik dengan nuansa kekerasan biasanya pada saat terjadi benturan secara fisik antara pihak-pihak yang bertikai (Chandrawati, 2005). Edwar Azar dengan teorinya mengenai konflik sosial yang berlarut-larut / Protracted Social Conflict (PSC), menyatakan bahwa konflik merupakan representasi dari perjuangan berkepanjangan yang seringkali penuh kekerasan oleh kelompok komunal untuk keperluan dasar seperti keamanan, pengakuan dan penerimaan, serta akses yang adil bagi institusi politik dan partisipasi ekonomi. Dalam hal ini, peran negara dapat memuaskan atau mengecewakan kebutuhan dasar komunal, dan karenanya dapat mencegah atau justru menimbulkan konflik. Istilah PSC menekankan bahwa sumber-sumber konflik semacam ini terletak di dalam negara dan bukan antar negara (Miall, Ramsbotham, & Woodhause, 2000).[9]

b. Sumber-sumber Konflik

Untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, tentunya harus diketahui penyebab konflik yang terjadi. Dengan mengetahui sebabnya, konflik diharapkan segera bisa diselesaikan. Dalam pandangan teori konflik bahwa masyarakat selalu dalam kondisi perubahan, dan setiap elemen dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik di masyarakat. Dalam pandangan teori ini bahwa masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi kekuasaan dan otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”. [10]

Dengan adanya perbedaan distribusi kekuasaan inilah kemudian memunculkan dua kelompok yang berbeda posisi, yakni kelompok dominan dan kelompok pada posisi subordinat. Mereka yang berada pada posisi dominan cenderung mempertahankan status quo sementara yang berada pada posisi subordinat selalu berupaya mengadakan perubahan terus-menerus. Konflik kepentingan dalam suatu kelompok selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi.[11]

Agak berbeda dengan para teoritisi konflik di atas, Collins, seorang ahli sosiologi, lebih menekankan bahwa konflik lebih berakar pada masalah individual karena akar toretisnya lebih pada fenomenologis dan etnometodologi. Dia lebih memilih konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik, konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. [12]

Kedua penyebab konflik tersebut terkesan terlalu rumit untuk dipahami dan kurang mengarah secara langsung pada tataran konflik yang realistis. Namun demikian, secara umum penyebab konflik bisa disederhanakan sebagai berikut.[13]

1. Konflik Nilai

Kebanyakan konflik terjadi karena perbedaan nilai. Nilai merupakan sesuatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia menggantungkan pikiran, perasaan, dan tindakan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah konflik yang bersumber pada perbedaan rasa percaya, keyakinan, bahkan ideologi atas apa yang diperebutkan.

2. Kurangnya Komunikasi

Kita tidak bisa menganggap sepele komunikasi antarmanusia karena konflik bisa terjadi hanya karena dua pihak kurang berkomunikasi. Kegagalan berkomunikasi karena dua pihak tidak dapat menyampaikan pikiran, perasaan, dan tindakan sehingga membuka jurang perbedaan informasi di antara mereka, dan hal semacam ini dapat mengakibatkan terjadinya konflik.

3. Kepemimpinan yang Kurang Efektif

Secara politis kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang kuat, adil, dan demokratis. Namun demikian, untuk mendapatkan pemimpin yang ideal tidah mudah. Konflik karena kepemimpinan yang tidak efektif ini banyak terjadi pada organisasi atau kehidupan bersama dalam suatu komunitas. Kepemimpinan yang kurang efektif ini mengakibatkan anggota masyarakat “mudah bergerak”

4. Ketidakcocokan Peran

Konflik semacam ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Ketidakcocokan peran terjadi karena ada dua pihak yang mempersepsikan secara sangat berbeda tentang peran mereka masing-masing.

5. Produktivitas Rendah

Konflik seringkali terjadi karena out put dan out come dari dua belah pihak atau lebih yang saling berhubungan kurang atau tidak mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut. Oleh karenanya muncul prasangka di antara mereka. Kesenjangan ekonomi di antara kelompok masyarakat, termasuk dalam konflik ini.

6. Perubahan Keseimbangan

Konflik ini terjadi karena ada perubahan keseimbangan dalam suatu masyarakat. Penyebabnya bisa karena faktor alam, maupun faktor sosial.

7. Konflik atau Masalah yang Belum Terpecahkan

Banyak pula konflik yang terjadi dalam masyarakat karena masalah terdahulu tidak terselesaikan. Tidak ada proses saling memaafkan dan saling mengampuni sehingga hal tersebut seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa berkobar.

PEMBAHASAN

a. Peta Konflik

Secara garis besar, konflik di Ambon dapat dibagi dalam 4 (empat) babak, yaitu: [14]

Babak I: Januari-Maret 1999

Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat setempat, yaitu konflik antar preman Batumerah (Muslim) dan Mardika (Kristen) pada tanggal 19 Januari 1999, dalam sekejab menimbulkan pertikaian antar kelompok agama dan suku bangsa, dan meledak menjadi kerusuhan besar di seantero kota Ambon. Kerusuhan itu bahkan meluas ke seluruh Pulau Ambon tanpa dapat dikendalikan.

Kerusuhan yang berlarut-larut di Pulau Ambon yang semula berpenduduk 312.000 jiwa ini memakan banyak korban jiwa. Korban pengungsi mencapai sekitar 100.000 jiwa yang lari ke luar Ambon dan menyisakan 20.000 jiwa orang yang terpaksa tinggal di 34 lokasi pengungsian. Kota dan desa-desa di Ambon bertebaran dengan puing-puing bangunan rumah ibadat, rumah tinggal dan toko yang dibakar serta diratakan dengan tanah. Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat dan terbagi dalam 2 wilayah: Islam dan Kristen. Masyarakat dan wilayah Kristen disebut merah, dan yang Muslim disebut putih. Di kota Ambon, masyarakat hidup dalam keadaan terpisah: pasar khusus merah, pasar khusus putih, pelabuhan speedboat merah dan putih, becak merah dan putih, angkot merah dan putih, bank merah dan putih, dan sebagainya.

Pemerintah daerah, aparat keamanan, pemuka-pemuka agama dan adat kemudian sibuk melakukan upaya-upaya rekonsiliasi dengan berbagai gebrakan. Upacara panas pela dilakukan di sana-sini. Sejak akhir Maret sampai pertengahan Juli 1999, Ambon relatif reda dari kerusuhan besar, meskipun masih terjadi insiden berdarah di sana-sini, dan di beberapa kota dan desa di pulau-pulau lain. Tetapi, kerusuhan hebat berlangsung di Tual, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara pada akhir Maret 2000.

Babak II: Juli-November 1999

Susana Ambon tenang-tenang tegang sementara disuguhi atraksi kampanye menjelang pemilu. Status wilayah keamanan ditingkatkan menjadi Kodam. Masyarakat tetap tersegregasi, meskipun di satu dua tempat agak mencair. Kerusuhan di Tual reda dan konfliknya selesai. Usai

Pemilu, ketegangan meningkat dan tiba-tiba pecah di daerah Poka, dan meluas ke bagian lain di Ambon. Kerusuhan besar juga melanda wilayah Maluku Utara yang statusnya meningkat menjadi propinsi.

Segregasi semakin ketat. Di Ambon hanya tersisa 1 desa (Wayame) yang masyarakatnya tetap berbaur. Sebutan merah diganti dengan Obet (Robert) dan putih menjadi Acang (Hasan). Lokasi pengungsi di Pulau Ambon menjadi 119 site untuk Muslim dan 123 site untuk Kristen. Masyarakat semakin mempersenjatai diri dengan berbagai bentuk senjata, mulai dari parang, rakitan hingga senjata organik. Milisia mulai tampak menonjol di dua pihak yang bertikai, dan teroganisir. Kelompok milisia anak-anak disebut pasukan Agas, yang remaja tergabung dalam pasukan Linggis, dan yang dewasa disebut Laskar Jihad serta Laskar Kristus. Yang menjadi kesibukan kaum pria pada umumnya hanyalah membuat senjata, lalu terang-terangan meminta bantuan amunisi atau dana untuk membuat senjata. Amunisi memang diperjualbelikan secara terbuka.

Babak III: akhir Desember 1999- pertengahan Januari 2000

Memasuki bulan puasa, awal bulan Desember 1999, konflik mereda, namun kesiapsiagaan dan ketegangan meningkat sangat tinggi. Situasi siaga sangat terasa di kedua belah pihak. Hal ini juga terjadi di Pulau Seram dan Pulau Buru. Tanda-tanda akan meledaknya kerusuhan menguat pada saat kunjungan Presiden dan Wakil Presiden pada akhir bulan Desember 1999. Dan benar, kerusuhan meledak di Batumerah-Mardika, Ambon, pada tgl. 26 Desember 1999. Hampir serentak. kerusuhan terjadi juga pada hari-hari berikutnya di Masohi, Seram dan Namlea serta sekitarnya, di Pulau Buru. Wilayah-wilayah yang tersegregasi di Maluku Tengah dan Ambon semakin meluas. Selepas kunjungan Wapres berikutnya di bulan Januari 2000 terjadi lagi kerusuhan di Haruku dan Saparua.

Korban jiwa berjatuhan kembali, jumlah pengungsi meningkat tajam. Arus pengungsi masuk dari P. Buru ke Ambon, sebagian ke Maluku Tenggara. Dari Pulau Seram pengungsi mulai memasuki Sorong, Papua. Sementara itu, arus pengungsi dari Maluku Utara (Pulau Bacan, Pulau Obi, dan Halmahera Utara) juga mengalir ke Seram, Ambon, dan Maluku Tenggara. Ambon menjadi penuh sesak dengan pengungsi yang hampir-hampir tidak tertampung lagi.

Babak IV: April 2000 – Agustus 2000

Sejak Februari-Maret 2000, sebenarnya situasi di Ambon sudah tenang. Aktivitas masyarakat mulai pulih meskipun terbatas di wilayah masing-masing. Jalan-jalan yang diblokir mulai dibuka dan dilewati oleh keduabelah pihak. Upaya rekonsiliasi dilakukan di beberapa tempat: di Jakarta (oleh tim rekonsiliasi pusat), di Belanda atas inisiatif dan undangan pemerintah Belanda, di Bali oleh Pemerintah Inggris lewat Perwakilan PBB, dan di atas kapal-kapal TNI-AL dalam program Surya Bhaskara Jaya (SBJ).

Tetapi, gerakan Jihad yang berpusat di Yogya, Jakarta, Bogor mulai meresahkan masyarakat Ambon. Pers setempat ramai memberitakan ancaman-ancaman Jihad, dan penolakan kedatangan Jihad muncul juga dari masyarakat Muslim, apalagi Kristen. Keresahan terbukti. Sehari setelah kunjungan Wakil Presiden ke Ambon dalam rangka program SBJ, diawali peristiwa makan Patita antara kelompok milisia Batumerah (Muslim) dengan Kudamati (Kristen) yang disertai pawai

becak, kerusuhan mulai merebak lagi. Kerusuhan juga menjadi berkepanjangan dengan cetusan berbagai insiden seperti insiden di Laha-Tawiri, dan sangat menghebat di bulan Juni-Juli dengan adanya ribuan pasukan Jihad di Ambon. Desa-desa Kristen seperti Ahuru, Poka, Rumah Tiga, Waai, dan kampung-kampung Kristen di Urimesing, Batumeja, Batugantung habis rata dengan tanah. Universitas Kristen, Universitas Negeri Pattimura, sejumlah bank swasta, gedung-gedung umum, rumah sakit swasta, bahkan asrama Brimob di Tantui ikut menjadi korban. Ambon saat itu benar-benar porak poranda, bantuan kemanusiaan sulit dilakukan, dan di seluruh wilayah Maluku diberlakukan Darurat Sipil, setelah Pangdam Pattimura diganti.

Relawan dari Jaringan Kerja Relawan untuk Krisis Maluku yang saat ini berada di Ambon melaporkan bahwa situasi masyarakat memprihatinkan, baik di wilayah Muslim maupun Kristen. Sekelompok orang di seputar Bandara menyerbu bantuan yang baru diturunkan dari hercules. Meskipun dapat diatasi, peristiwa tersebut menggambarkan bahwa masyarakat (Muslim) sangat sulit untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Relawan Muslim juga sangat sulit berkomunikasi dengan yang Kristen, karena takut terhadap tekanan dari jihad. Di wilayah Kristen, bantuan sulit untuk disalurkan, karena faktor transportasi dan pemblokiran jalur masuk. Reaksi dari masyarakat Kristen terhadap bantuan memperlihatkan semacam apatisme. Mereka mengatakan bahwa yang dibutuhkan adalah intervensi asing untuk pengamanan, bukan barang-barang bantuan.

b. Dampak yang Diderita oleh Masyarakat

Tabel 1

Perasaan yang Dialami oleh Masyarakat selama Kerusuhan [15]

Jika dilihat perbandingan antara hasil jajak pendapat yang dilakukan menjelang akhir tahun 2000 dibandingkan dua tahun kemudian 2002 [lihat Tabel 2, bawah], terdapat perubahan apa yang dirasakan masyarakat. Perasaan masyarakat berubah. Perubahan itu kiranya cukup bermakna. Dimungkinkan, sekarang masyarakat sudah lebih kurang rentan dibandingkan sebelumnya ketika bentrok antar kampung mudah terjadi di Maluku. Ini adalah perkembangan kesadaran masyarakat sipil yang berarti, yang diharapkan menjadi tumpuan terus maju menempuh jalan penguatan sendiri, perdamaian dan demokrasi. Namun, "perkembangan" ini masih belum berarti apa-apa jika ditilik "volume" dari penderitaan masyarakat itu sendiri. Penyembuhan luka batin pasti tidak sebentar dan harus sabar. Perasaan putus asa, takut dan kecewa sedikit berkurang, dari 67,8% jadi 42,9%. Namun jika ditilik, perbedaan antara perempuan (52%) dan laki-laki (36,5%), kiranya perempuan jauh lebih menderita dan menahan derita itu: putus asa, takut, kecewa. Angka 52% sangat tinggi maknanya, sehingga dapat dipastikan setidaknya lebih dari seperempat penduduk dan masyarakat Maluku (spesifik perempuan) ada dalam kondisi stress dan sangat tertekan. [Lihat Tabel 1, atas]

Sementara rasa dendam, benci dan marah, namun sekaligus tak mampu berbuat apa-apa meningkat tidak sedikit, dari 1,5% jadi 30,1%. Namun perasaan ini kiranya masuk ke dalam alam bawah sadar ketika banyak orang mengalami trauma psikologis tapi sekaligus sudah tak lagi menemukan makna pada tingkat tindakan. Sementara mereka yang merasa “gembira dan senang” [sampai sejauh "tersalurkan"] karena kerusuhan ini jauh sangat berkurang.

Tabel 2

Perbandingan Perasaan yang Dialami Masyarakat pada Tahun 2000 dan 2002 [16]

c. Resolusi Konflik

Tidak mudah untuk menentukan pilihan tindakan penyelesaian konflik sosial yang tepat bagi suatu sistem sosial di suatu kawasan tertentu. Solusi konflik sosial pun tidak dapat “generik”, dalam arti sebuah rumusan yang berlaku bagi suatu sistem sosial komunitas akan berlaku juga bagi sistem sosial komunitas yang lain.

Secara umum strategi resolusi konflik sepantasnya harus dimulai dengan pengetahuan yang mencukupi tentang peta konflik sosial yang terjadi di suatu kawasan. Dengan berbekal peta tersebut, segala kemungkinan dan peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cermat, sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan dengan baik. Seringkali dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan solusi-tindakan rasional untuk mengatasi konflik sosial, tidaklah benar-benar mampu menghapuskan akar-persoalan konflik secara tuntas dan menyeluruh. Pada kasus-kasus yang demikian itu, maka resolusi konflik sepantasnya dikelola (conflict management) pada derajat dan suasana yang sedemikian rupa sehingga ledakan berupa “clash-social” yang bisa berdampak sangat destruktif dapat dihindarkan.

Adapun secara umum resolusi konflik Ambon dapat digunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu:

1. Resolusi Konflik berbasis atau berorientasi nilai-kultural (etik, norma)

à Pemanfaatan simbol-simbol dan norma kultural sebagai pemersatu para pihak yang berkonflik

2. Resolusi Konflik berbasis atau berorientasi pengembangan struktur kelembagaan

à Forum Komunikasi dan memberdayakan “ruang komunikasi publik” serta membangun kesepakatan bersama berbasiskan kemitraan dan saling pengertian

PENUTUP

Konflik adalah fenomena yang serba hadir (omni present), baik itu konflik orang-perorang maupun konflik masyarakat. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan negara.

Analisis yang digunakan penulis dan beberapa peneliti yang lain masih sangat terbatas pada penjelasan bagaimana konflik terjadi, tetapi tidak menjelaskan mengapa konflik terjadi pada tahun 1999. Oleh karena itu, penelitian berikutnya agar diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

REFERENSI

Algifari, Akhmad, 2007, Rekonstruksi Pluralisme Agama di Bumi Kalimantan Tengah, (www.psik-paramadina.org)

Bartels, Dieter, 2000, Tuhanmu Bukan Lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku Tengah (Indonesia) Setelah Hidup Berdampingan denganToleransi dan Kesatuan Etnis yang Berlangsung Selama Setengah Milenium, (www.nunusaku.com)

Bubandt, Nils dan Molnar, Andrea, 2004, Di Pinggir Konflik: Kekerasan, Politik, dan Kehidupan Sehari-hari di Indonesia Bagian Timur, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 74, hal. 3 - 8

Dharmawan, Arya Hadi, 2006, Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-Budaya (dengan Fokus Perhatian), (www.psp3ipb.or.id)

Marbun, BN, 2003, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Margawati, Margaretha dan Aryanto, Tony, 2000, Konflik antar Agama atau Politisasi Agama, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 63, hal. 123 - 130

Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z., 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Santoso, Thomas, 2002, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta

Saputra, Adi dan Syarbaini, Syahrial, 2007, Sebab-sebab Munculnya Konflik Separatis di Thailand Selatan, Universitas Budi Luhur, Jakarta

Sriyanto, Agus, 2007, Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal, Ibda’ Vol. 5, No. 2, hal. 286 – 301, STAIN Purwokerto

Taum, Yoseph Yapi, 2006, Masalah-masalah Sosial dalam Masyarakat Multietnik, BKSNT, Yogyakarta (www.bksnt-jogja.com)

www.media-indonesia.com (Hindari Konflik Sosial Meluas ke Konflik Agama, Jumat, 21 September 2007)



[1] Lihat Algifari, Akhmad, 2007, Rekonstruksi Pluralisme Agama di Bumi Kalimantan Tengah, hal. 1

[2] Ibid

[3] Lihat Dharmawan, Arya Hadi, 2006, Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-Budaya (dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat), hal. 9

[4] Pruitt, Dean G. dan Rubin, Jeffrey Z., 2004, Teori Konflik Sosial, hal. 9

[5] Ibid

[6] Ibid, hal 21

[7] Lihat Santoso, Thomas, 2002, Teori-teori Kekerasan, hal. 78

[8] Marbun, BN, 2003, Kamus Politik, hal. 289

[9] Lihat Saputra, Adi dan Syarbaini, Syahrial, 2007, Sebab-sebab Munculnya Konflik Separatis di Thailand Selatan, hal. 43

[10] Lihat Sriyanto, Agus, 2007, Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal, hal. 289

[11] ibid

[12] ibid

[13] ibid

[14] Margawati, Margaretha dan Aryanto, Tony, 2000, Konflik antar Agama atau Politisasi Agama, hal. 124

[15] Hasil Jajak Pendapat yang dilakukan oleh Jaringan Kerja Gerakan Moral Penyelesaian Konflik Maluku ”BakuBae”, 2002

[16] Ibid

Tidak ada komentar: